Buntut Laporan Denny Indrayana, ​IKA MHUI Keluarkan Rapor Merah Kebebasan Berpendapat


JAKARTA, KNEWS - Sejumlah pengamat menilai bahwa kebebasan berpendapat masih belum mendapat tempat yang layak setelah 25 tahun reformasi bergulir. Pandangan ini disampaikan oleh Muhammad Ihsan Maulana yang merupakan peneliti Perludem serta Asfinawati yang merupakan mantan Direktur LBH Jakarta dan Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia dalam Webinar berjudul “25 Tahun Reformasi: Kritik Dikebiri, Aktivis, Pejuang Anti Korupsi, dan Akademisi Dikriminalisasi”. Webinar tersebut diselenggarakan oleh Ikatan Keluarga Alumni Magister Ilmu Hukum Universitas Indonesia (IKA MHUI) pada hari Jumat (2/6) lalu. 

“Selain membahas issue terhangat mengenai keprihatinan kita terhadap kebebasan berpendapat dewasa ini, webinar ini juga bertujuan untuk menjaga kita untuk tetap konsisten berfikir dan bertindak kritis menyuarakan kebenaran. Percayalah, berjalan di koridor sesuai dengan hati nurani tidak akan membuat kita semua menjadi miskin dan mempercepat kematian” ungkap Caisa Aamuliadiga selaku Ketua Umum IKA MHUI dalam sambutannya.

Webinar in tidak lepas dari kondisi memperihatinkan penegakkan hukum di Indonesia yang cenderung represif terhadap kebebasan berpendapat. Diketahui bahwa terdapat sederet aktivis yang menjadi korban kriminalisasi akibat tindakannya yang vokal terhadap pemerintahan. Nama Haris Azhar dan Fatia hingga Denny Indrayana yang beberapa waktu lalu memberikan cuitan di twitter mengenai putusan proporsional tertutup di Mahkamah Konstitusi menambah daftar kelam potret kebebasan berpendapat di Indonesia.

Menurut Muhammad Ihsan Maulana, 25 tahun seharusnya membawa harapan baru terhadap keterbukaan, kebebasan dan keadilan. Namun ruang tersebut menjadi padam ketika pemerintah justru merepresi sikap kritis. Alih-alih mendorong masyarakat untuk mengemukakan pendapat, dilindungi atau dijawab, hukum justru menjadi ruang intervensi kepada mereka yang bermaksud memberikan pandangan kritis.

“Pelaporan terhadap Prof. Denny atas cuitannya memberikan dampak buruk kepada masyarakat bagaimana mereka memberikan catatan terhadap isu yang memang disoroti oleh publik. Padahal respon tersebut disambut baik oleh publik. Bahkan, delapan partai politik peduli kembali terhadap isu tersebut dan melakukan konferensi pers”, tambah Ihsan.

Asfinawati menilai bahwa hukum seringkali tidak memberikan keadilan dan justru menjadi alat represi. Legalitas atau keabsahan atas sesuatu acap kali hanya merupakan alat kekuasaan untuk menghantarkan ketidakadilan. Hukum tidak lebih hanya merupakan alat perampasan hak.

“Instrumen HAM di Indonesia nyaris lengkap. Kita sudah meratifikasi semua aturan-aturan penting tentang hak asasi manusia, di antaranya kovenan tentang hak ekonomi, sosial, dan budaya serta kovenan tentang hak sipil dan politik. Tidak kurang kebebasan yang dijamin oleh dua kovenan tersebut. Hak kebebasan berpendapat juga di atur di konstitusi. Namun, hak-hak tersebut tidak bekerja,” ungkap Asfinawati.

Asfinawati juga menilai bahwa ada ketidakadilan sistemik yang terjadi di Indonesia. Jika perubahan terhadap ketidakadilan tidak dapat dilakukan atau tidak dapat terwujud dengan sistem yang ada, maka masyarakat harus sama-sama membangun gerakan sosial. Siapa pun dan apa pun keahlian yang dimiliki merupakan modal penting untuk membangun gerakan. (red/rl).

0 Comments