Sabtu, 01 Agustus 2020

OPINI : Wajah Pendidikan Negeriku, Tidak Ada Uang Tidak Ada Ruang

Ket : Ikhsan dan Lensa Indonesia

OPINI - Knews.co.id - Pendidikan seakan menjadi kewajiban bagi semua anak di Indonesia. Bincang hangat tentang pendidikan selalu saja ada. Apakah pendidikan sekarang menuai kontroversi?. Rasanya sangat sulit untuk di jawab karena setiap orang memiliki kebebasan berfikir dan bersikap tentang pendidikan karena sangat jelas beda orangnya beda rasanya. Tentunya berpendidikan juga rasanya berbeda-beda.

Wajibkah Pendidikan?

Pendidikan formal terus menerus menjadi acuan untuk legalitas kecerdasan anak. Buktinya dimanapun itu pertanyaan pertama adalah sudah berpendidikan di tingkat apa?. Jika memang pendidikan formal adalah wajib, maka hak peserta didik seharusnya terpenuhi. Jika pendidikan formal tidak wajib, mengapa harus ada kata "Mencerdaskan kehidupan bangsa" dalam Undang-undang dasar.

Berbagai problematika di sektor pendidikan selalu ada, mungkin itu sudah menjadi masalah yang kontemporer. Pertama orang miskin sulit menempuh pendidikan, kedua orang miskin sulit mendapatkan jaminan pendidikan. Mereka (kaum minor) hanya bisa bermimpi untuk hidupnya bisa terjamin seperti orang kebanyakan yang memakai seragam pendidikan. Lalu apakah yang sudah berseragam sudah aman dalam kebutuhan? Tentunya tidak, masih ada yang kesulitan pada pembayaran sekolah. Logikanya adalah jika yang sudah masuk dunia pendidikan saja masih kesulitan, apalagi mereka (kaum minor) yang berpendidikan hanya dalam mimpi. 

Pendidikan Formal Sebagai Tolak Ukur Kecerdasan

Melihat orang yang tidak berpendidikan (formal) seakan tampak awam dan sangat mundur pada pemikiran pembaruan. Katanya, melalui pendidikan formal dari tingkat kanak-kanak menuju sekolah menengah yang membutuhkan 12 tahun bahkan lebih. Bayangkan, itu saja masih dalam kategori menengah, belum lagi pada pendidikan tinggi yang mungkin sangat membutuhkan banyak biaya.

Lalu apakah (anggaplah) saya yang tidak masuk sekolah dasar, lalu menengah harus menjadi orang-orang yang awam?. Tentunya, jika pendidikan itu harus formal, maka ijazahlah sebagai bukti legalitas dari pengabdian kita pada Pendidikan formal. 

Melihat menempuh pendidikan sangatlah sulit bagi kaum bawah (minor). Kenapa demikian? Karena pendidikan dan ekonomi saling mengikat satu sama lain. Fasilitas sekolah menjadi faktor tingginya biaya. Jadi pendidikan hanya bisa dimiliki oleh orang bermodal. 

Jika tidak mempunyai modal siap siaplah untuk menjadi orang awam dan akan di bodohi oleh intelektual cetakan pendidikan formal. Saya tidak mengatakan semuanya, hanya mengambil dari beberapa contoh. Jika berpendidikan dan berintelektual, kita berpeluang menjadi konseptor untuk hal-hal apa saja. Lihat sekitar kemajuan, dan bangunan gedung tinggi itu awalnya ada pada konsep. Ngeri bukan?.

kita dapat ikut merasakan bagaimana pilunya hati tak dapat menimba ilmu karena tak memiliki uang. Liriklah anak jalanan, anak-anak desa yang juga punya mimpi namun harus mimpinya dimatikan oleh sistem pendidikan itu sendiri. Sekolah menjadi lahan bisnis, pungutan biaya kepada siswa yang mahal. 

Pendidikan Dengan Angka R(UANG)

Negara kita mengedepankan keadilan sosial, negara kita mengedepankan kecerdasan bagi setiap rakyatnya. Lalu mengapa itu semua hanya sekedar tulisan yang melekat pada butir-butir Pancasila. 

Pendidikan baru bisa di rasakan ketika kita siap untuk membayarnya. Salah satunya yang membantu orang berpendidikan adalah beasiswa, namun masih ada juga tekanan kepada penerima untuk bebas bergerak. Sudah jelas kebebasan dan keadilan bagi kaum minor sulit di dapatkan.

Solusi cerdas bagi mereka (kaum minor) tanpa uang pun mereka tetap dapat ruang belajar pada sekolah non formal yang di buat oleh orang-orang sadar akan keadilan sosial. Tapi sayangnya mereka tidak dapat pengakuan. Bahkan penulis pun juga masih merasakan sulitnya berpendidikan. Rintangan di lalui untuk sampai di perguruan tinggi.

Jeritan kaum minor menjadi tidak terdengar, lalu kemana mereka mendapatkan ruang dan hak belajarnya. Hanya orang yang sadarlah dengan pendidikan kaum minor yang bisa membantunya. Jika uang tidak ada maka ruang pun tidak akan ada. Kecuali ruang itu di adakan oleh orang yang peduli dan memberikan didikan tanpa pamrih. Pendidikan mahal menjadi wajah dari negara kita. Maka, tolonglah berilah ruang meskipun tak ber-uang.

Penulis : A. Ikhsan (Mahasiswa Hukum Tata Negara UINAM/Lensa Indonesia)

Sebelumnya
Selanjutnya