Senin, 19 Oktober 2020

Make Up Mental untuk Glowing Berorganisasi


 OPINI, KNEWS - Sebuah organisasi akan mampu mencapai tujuan ketika para penghuninya (baca: kader) berkarakter baik dan punya mentalitas yang kuat dalam menjalankan roda organisasi. Ketangguhan mentalitas yang dimaksud ialah bagaimana seseorang mampu mengendalikan emosi, mengelola pikiran, berpikir positif terlepas dari apapun sikon yang dihadapi, juga mampu bertahan dan melewati segala kesulitan dalam berhimpun, bukan yang bermental kerupuk.

Bergabung dalam sebuah organisasi jelas akan menemukan berbagai dinamika dalam prosesnya. Apatahlagi Himpunan Mahasiswa Islam (HMI), yang merupakan organisasi mahasiswa Islam tertua di Indonesia. Selain terkenal dalam memperjuangkan nilai-nilai keadilan dan keislaman depan, HMI juga terkenal dengan suburnya dinamika dalam tubuhnya. 

Organisasi bagaikan piramida, semakin bergerak menuju puncak atau tingkat kejayaan maka semakin banyak pula tantangan dan rentan akan keruntuhan, terpaan angin yang kuat akan selalu menghantam. Layaknya HMI secara umum, semakin populer untuk menuju puncak maka semakin banyak masalah yang akan dihadapinya. Pertanyaannya, apakah kader HMI mampu menghadapi dan menyikapinya secara dewasa?
Mari mengamati sekitar kita terkhusus perempuan yang terhimpun dalam HMI. Selain masih minimnya partisipasi dalam setiap kegiatan, juga masih minimnya perempuan yang bertahan dalam menghadapi polemik yang terjadi dalam organisasi hijau hitam ini. Sebab, masih banyaknya HMI-wati yang mengedepankan perasaan dibandingkan logikanya dalam berproses. Padahal, semakin maraknya perjuangan kesetaraan gender dari segi intelektual juga semakin kurang pengimplementasian dalam lingkup berorganisasi.

Merefleksikan kembali jejak juang Maesaroh Hilal dan Siti Zaenah, sosok perempuan yang selain mereka sebagai pendiri HMI juga sebagai pemrakarsa berdirinya Korps HMI Wati (KOHATI). Berkat pengalaman dan pemikirannya selama ber-HMI mulai dari tahun 1947 hingga 1966 bahwa secara internal masih kurangnya kesadaran HMI-wati dalam  berproses dan bertahan dalam himpunan, maka mereka membentuk lembaga khusus di bidang pemberdayaan perempuan yang bertujuan tidak lain daripada untuk memudahkan mencapai tujuan HMI dan lebih fokus untuk membina dan mendidik HMI-wati sebagaimana perannya dalam PDK (Pedoman Dasar Kohati).

Semakin banyak orang yang terhimpun, maka semakin banyak pula wajah dan watak baru dengan berbagai pandangan serta budaya baru. Namun, hal itulah yang membuat HMI besar dan berwarna, dengan keberagaman yang unik sebagai suatu hal yang tak bisa dihindari namun dihadapi. 

Perlu dipahami bahwa dalam setiap organisasi seyogyanya mempunyai banyak masalah, namun HMI-wati tak mestinya lari dari masalah atau menghindarinya, seharusnya setiap kesulitan harus dihadapi dengan ketenangan dan karakter yang bijak. Namun, melihat kondisi HMI-wati saat ini dengan berbagai polemik yang terjadi, hal yang perlu diingat bahwa konflik adalah dinamika dalam proses ber-HMI bukan sebuah tujuan.

Entah sadar atau tidak, acapkali yang membuat kader tak bisa berkembang justru adalah diri sendiri. Kebiasaan membuat batasan dan menutup diri, hanya karena keyakinan dan sugesti yang terbangun bahwa dirinya tak mampu menyelesaikan masalah atau tak sanggup menanganinya. Dengan kata lain, kader lebih senang memilih mundur sebelum perang dibanding mencobanya. Sudah terlalu banyak kader yang cerdas hingga melahirkan banyak kritikan terhadap HMI kemudian solusi yang ada dalam pikirannya ialah menghilang. Tindakan tersebut merupakan gambaran kebodohan tersendiri bagi manusia yang merasa pintar. Tepatnya, kepintaran dalam lakon kebodohan yang kurang kreatif.
Agussalim Sitompul  dalam risetnya menguraikan bahwa salah satu kemunduran HMI yang mesti disadari oleh kader ialah selain perlunya kritik terhadap HMI dari segi statusnya sebagai organisasi perjuangan, maka penghuninya pun mesti melakukan kritik terhadap statusnya sebagai kader. Artinya dengan melakukan kritik terhadap diri tersebut maka lahirlah pengevaluasian diri, kesadaran diri, kekurangan dan kekuatan diri sebagai kader HMI.

HMI-wati tak mesti menjadi orang yang perfeksionis bin glowing . Saya sepakat terhadap apa yang dibahasakan oleh Mark Manson dalam bukunya “Sebuah Seni Bersikap Bodo Amat” bahwa menjadi seseorang yang berbeda dengan yang lain adalah suatu kebanggaan, walaupun berbeda dengan yang lazim, tak seharusnya kita selalu memikirkan apa yang dikatakan orang lain, mari sedikit bersikap bodo amat.

Wajar-wajar saja sih, sebab semakin besar sebuah organisasi maka semakin besar potensi badai yang akan menghantamnya. Namun, bagi kader yang cepat Baper (Bawa Perasaan) yakin dan percaya bahwa mereka tak akan lama di himpunan, mereka akan terseleksi alam dengan sendirinya. Bukankah sejak Basic Training, hal yang paling ditegaskan oleh Master Of Training dan Vice Of Master bahwa hukum alam akan tetap berlaku dalam HMI, siapa yang bertahan merekalah kader yang sesungguhnya.

Jadikanlah kata BAPER sebagai pembawa perubahan diri bukan bawa perasaan dalam berorganisasi. Sebab, HMI berbeda dengan organisasi lain, HMI butuh kader yang punya mental  kuat dan mampu bertahan, tidak melihat siapa penghuni di dalamnya, bukan pula siapa pemimpinnya apatahlagi bertahan karena demi seniornya. Maka sekali lagi saya katakan bahwa  lihatlah HMI-nya, pola pikir inilah yang mesti dibangun. Mari sama-sama berikhtiar menuju apa yang diniatkan demi terwujudnya muslimah berkualitas insan cita.

Tak bermaksud menggurui sedikitpun, kita sama-sama kader HMI yang berusaha dan berdo’a untuk menghargai segala proses dalam himpunan. Sebagai seorang perempuan (HMI-Wati), make up dan tampil glowing merupakan hal yang lazim dan kebutuhan bersama untuk menjaga kesegaran kulit dan tubuh. Akan tetapi, saat ini kita membutuhkan keduanya bukan hanya untuk kulit dan tubuh, lebih dari kita membutuhkan make up mental agar tetap glowing (baca: bersinar dan kokoh)  dalam berorganisasi.
Jayalah KOHATI, Bahagia HMI!

Penulis : Ita Rosita 
(Kader HMI Cabang Gowa Raya)


Sebelumnya
Selanjutnya