Kamis, 31 Desember 2020

Perempuan Dalam Jeratan Ketidakadilan Gender


OPINI, KNEWS - Sebagai manusia perempuan dan laki-laki diciptakan sama. Meminjam kutipan dari seorang tokoh pejuang hak-hak perempuan yang terkenal di abad ke-19 dari Amerika, Elizabeth Cady Stanton “That all men and women are created equal”. Dalam konteks ini, Elizabeth mempercayai bahwa seorang manusia yang diciptakan oleh Tuhan, baik itu perempuan maupun laki-laki berada pada posisi yang sama (setara) sebagai makhluk ciptaan Tuhan.Hal ini sejalan dengan pendapat dua ilmuwan besar yang memberikan sumbangan luar biasa untuk memahami dasar-dasar pemikiran mengenai akar penyebab penindasan terhadap perempuan yakni Lewis H. Morgan dan Frederick Engels. 

Morgan, dalam bukunya Ancient Society (1877) menyatakan sesuai dengan hasil penelitianya menemukan “Sebuah tatanan sosial masyarakat dengan kedudukan perempuan dan laki-laki setara dalam segala bidang” yang berlangsung sampai jauh ke abad-19 seperti dalam masyarakat suku Indian Iroquis kaum perempuan mereka memiliki hak dan kewajiban yang setara dengan kaum laki-lakinya serta peran yang mereka ambil dalam pengambilan keputusanpun setara karena setiap perempuan dewasa  juga anggota dari Dewan Suku yang dapat menjadi Ketua Suku, begitupula dalam masyarakat Jermania ketika mereka masih mengembara di luar perbatasan dengan Romawi berlaku juga keadaan yang sama, bahkan dalam suku Schytia Asia Tengah perempuan dapat diangkat menjadi prajurit dan pemimpin perang. Menyempurnakan apa yang ditulis Morgan tersebut, Frederick Engels, didalam bukunya “The Origin of the Family, Private Property and the State” (1942) memberi tekanan terhadap banyaknya data yang sudah dikumpulkan oleh para arkeolog dan para antropolog yang “membenarkan bahwa komunitas manusia pada awalnya tak terbagi-bagi ke dalam kelas-kelas sosial dan, secara jender, egalitarian”. Sehingga tidak mengherankan rasanya, bilamana semua Negara berlomba-lomba untuk membangun sebuah tatanan sosial masyarakat yang berkeadilan gender (setara).

Sejak menyatakan kemerdekaannya 75 tahun silam, Indonesia pun tak mau kalah melakukan berbagai upaya untuk bergerak ke arah pembangunan berkeadilan gender, mulai dari membuat program pengarusutamaan gender (Gender Mainstreaming), perencanaan dan penerapan kebijakan yang berprespektif gender, hingga membuat strategi integrasi kesamaan gender secara sistemik ke dalam seluruh sistem dan struktur, program, proses dan proyek, budaya, organisasi dan berbagai agenda pandangan serta tindakan yang memprioritaskan kesamaan gender. Tujuannya adalah untuk mencapai kesetaraan dan keadilan gender dalam segala lini kehidupan. 

Hal ini sebagaimana dijabarkan dalam Instruksi Presiden No. 9/2000 “Presiden menginstruksikan untuk melaksanakan pengarusutamaan gender guna terselenggaranya penyusunan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan, dan evaluasi atas kebijakan dan program pembangunan nasional yang berprespektif gender sesuai dengan bidang tugas dan fungsi serta kewenangan masing-masing”. Instruksi serupa pun dikuatkan kembali dalam Instruksi Presiden No. 3/2010 mengenai program pembangunan berkeadilan. Instruksi presiden tersebut dengan memuat upaya lintas sektoral untuk memastikan bahwa perempuan dan laki-laki, anak-anak perempuan, memiliki keseteraan akses dan kesempatan terhadap proses dan hasil pembangunan. 

Namun, hal tersebut sangat bertolak belakang dengan realitas yang dialami perempuan. Masih maraknya ketidakadilan terkait gender dimana kaum perempuan merasa dirugikan dalam tatanan sosial yang masih menempatkan laki-laki pada posisi superioritas dibandingkan perempuan, terlebih lagi masih adanya pembedaan-pembedaan atas siapa laki-laki dan siapa perempuan bahkan dalam upaya menggambarkan kebahagiaan diri perempuan harus menoleh kepada laki-laki untuk bisa menemukan kata yang tepat dan disetujui. Hal ini pun sejalan dengan pernyataan  seorang aktivis feminis berkebangsaan Prancis, Annie Leclerc “Aku mengidamkan agar kaum perempuan belajar menilai apa pun dengan cara pandang mereka sendiri dan bukan melalui mata laki-laki”. Pernyataan Annie Leclerc ini sebagai ungkapan kerinduan akan kreativitas yang kini terbelenggu dan sekaligus ungkapan kepedihan perempuan sebagai akibat dari ketidakadilan gender.

Ironi inilah yang tengah melanda perempuan-perempuan di Indonesia hingga saat ini kerapkali mengalami ketidakadilan gender, mulai dari tindakan Subordinasi perempuan selalu ditempatkan pada posisi kedua sehingga tidak memiliki akses dan kontrol yang memadai dalam hal pengambilan dan pembuatan keputusan, Marjinalisasi disebabkan proses penempatan yang tidak seimbang itulah membuat perempuan menjadi terpinggirkan terutama dalam wilayah ekonomi, Stereotype dalam kondisi terpinggirkan perempuan diharuskan menerima pelabelan yang ada, Kekerasan dengan adanya pelabelan bahwa perempuan itu makhluk lemah dan laki-laki itu kuat serta berkuasa sehingga kerapkali dijadikan objek kekerasan baik secara kultur (Patriarkhis) maupun struktural (Negara) serta Peran Ganda yang harus perempuan pikul, dimana ketika perempuan diberi ruang untuk mengekspresikan potensi diri pada wilayah publik tetap saja perempuan pun harus mengerjakan tugas-tugas domestik yang sebelumnya telah dilabelkan sehingga perempuan harus mengerjakan kedua wilayah tersebut. 

Sekian banyak daftar ketidakadilan gender terhadap perempuan tak akan ada habisnya diurutkan dari A sampai Z karena hal tersebut merupakan kenyataan sosial yang sudah berusia ribuan tahun lamanya dialami oleh perempuan. Di dalam bukunya, Engels menegaskan bahwa “eksplotasi kelas dan penindasan seksual atas perempuan lahir bersamaan, dengan tujuan melayani kepentingan sistem kepemilikan pribadi, dan itu berlaku sampai kini”. Oleh karena itu, tidak mengherankan bila perempuan kerapkali pasrah bahkan menginternalisasi anggapan ketidakadilan jender adalah takdir biologisnya sebagai perempuan. Inilah yang disebut kesadaran palsu, celakanya sekarang ini paling luas diderita oleh perempuan.

Sehingga, seiring kemajuan kerja dan daya pikir manusia, maka berbagai bukti ilmiah yang menyatakan bahwa posisi ketidakadilan gender bukanlah takdir biologis kaum perempuan. Sebagaimana dituturkan oleh sosiolog pertama yang memperluas ide sosialisasi memahami gender, feminitas, dan maskulinitas dibangun secara sosial, Oakley dalam Sex, Gender, and Society (1972) berarti “perbedaan yang bukan biologis dan bukan kodrat Tuhan”. Dalam konteks ini, Oakley mempercayai bahwa gender bukanlah kodrat atau ketentuan Tuhan, melainkan ciptaan manusia yang melekatkan sifat bagi laki-laki dan perempuan melalui konstruksi sosial maupun kultural. Karena, dalam fase awal perkembangan masyarakat berbagai bukti menunjukkan bahwa (manusia) perempuan dilahirkan dan hidup setara, bahkan menjadi sumber penghidupan manusia. Bukti lainnya, adanya sebutan semacam Ibu Pertiwi dan Dewi Kesuburan adalah bukti bahwa kaum perempuan dalam satu fase sejarah manusia pernah menempati posisi utama dalam sistem produksi masyarakat.

Dengan demikian, benar adanya bahwa ketidakadilan gender ini merupakan hasil dari konstruksi budaya masyarakat, bukanlah kodrat. Sehingga, penting adanya gerakan perempuan yang dibangun sinergis dengan perjuangan masyarakat luas dan membantu perempuan menentukan dirinya dalam realitas kehidupan saat ini maupun nanti agar perempuan sadar, tahu, dan berani menuntut hak-haknya serta menyampaikan aspirasinya tanpa harus didikte oleh orang lain, masyarakat, dan Negara.

Sehingga, dapat terwujud kesetaraan gender yang memberikan kesempatan yang sama pada perempuan dan laki-laki dalam menentukan keinginannya dan menggunakan kemampuannya secara maksimal disegala bidang. Dan perlu dicermati bahwa keseteraan gender bukanlah sebuah ambisi kaum perempuan menyingkirkan kaum laki-laki tetapi, sebuah cara untuk memanusiakan manusia.

Penulis: Jenny Aprella Andaresta
(Aktivis Perempuan dan Pegiat Literasi di Kabupaten Sinjai)

*Tulisan tanggung jawab penuh penulis*

Sebelumnya
Selanjutnya