Jumat, 25 Desember 2020

Samra Tidak Tercipta Sebagai Laki-laki; Analisis Novel Metanoia, Murasaki


OPINI, KNEWS- “Kembalilah ke titik dimana imanmu mulai cedera”, kutipan yang sangat menarik dari seorang Murasaki dalam judul novelnya Metanoia. Awalnya saya melihat kutipan ini hanya sebagai karya sastra saja, sampai ketika saya berfikir kembali bahwa bukan hanya nilai sastranya tapi ia juga berusaha menyampaikan sebuah pesan tentang akidah. 

Dalam novel ini, Murasaki menuliskan kehidupan dua orang perempuan dari latar belakang keyakinan yang berbeda, seorang Samra yang Islam dengan gayanya seperti atheis, dan Anne pemeluk agama Kristen dan kekagumannya pada Islam.
Lantas hal apa yang menarik dari kedua perempuan tersebut? 

Dalam banyak perjalanan, Samra mengemas harinya dengan berupaya menyampaikan isi pikirannya yang menolak diskriminasi terhadap kaum perempuan. Pemberontakan yang Ia lakukan untuk menunjukkan kepada ayahnya, bahwa tidak semua keputusan harus berdasarkan pemikiran laki-laki, tidak semua kebebasan hanya milik kaum Adam itu. Seperti sekolah yang tinggi, bepergian jauh, pandangan-pandangannya tentang suatu hal, lalu kapan perempuan akan terbebas dari pasung aturan-aturan agama yang sudah tercampur dengan tradisi? Melalui sastra, Samra sedikit demi sedikit  membuka rantai di kakinya. Ia menulis untuk membebaskan perempuan, untuk memotivasi perempuan.

Berbeda dengan Samra, Anne adalah seorang gadis yang megalami keambiguan dalam hal keyakinan. Orangtuanya menikah dalam keadaan berbeda agama, ayahnya Kristen dan ibunya seorang Islam. Anne adalah gadis yang selalu mempertanyakan hal-hal yang mengganjal dalam agamanya. Sampai pertemuannya dengan Samra karena suara-suara yang tiap saat bergema dalam telinganya. 

Hal menarik dari novel ini dimana Murasaki memandang akidah sebagai landasan pokok kehidupan individu. Akidah pada diri seorang individu senantiasa menjadi benteng pelindung untuk menjalankan hidup. Seperti Samra dengan akidah yang puntung sebelah, Ia kemudian terombang ambing di negara asing meskipun kehidupannya layak secara ekonomi namun secara spiritual Ia merasakan kegelisahan yang amat dalam. Pembaca-pembacanya sering merasa termotivasi dengan tulisan-tulisannya, namun sebaliknya Ia merasa berat dalam hati.

Namun di lain sisi, sebagai perempuan, saya setuju dengan jalan pemberontakannya, menggaris bawahi kutipan ini “Tuhan tidak pernah menciptakan wanita karena wanita butuh laki-laki, atau wanita diciptakan tidak untuk berjalan di atas ideologi laki-laki”. Bagaimana kiranya, ketika semua pemikiran lelaki dipakai dalam rumah tangga? Secara otomatis, ideologi yang terbangun adalah ideologi yang maskulin, dan setiap  kebijakan yang diambil sudah pasti akan puntung sebelah seperti halnya keyakinan Samra.

Pemikiran Murasaki yang tertuang melalui Samra ini untuk menyuarakan aspirasi seorang perempuan dalam menentukan masa depannya. Tidak melulu ayah atau kerabat yang selalu menentukan. Toh, dalam agama tidak ada perbedaan antara lelaki dan perempuan, mereka sama-sama tercipta menjadi hamba, menghamba, dan kembali kepada pencipta, dari tiada menjadi ada lalu tiada, dan dibangkitkan kembali. Begitulah siklus kehidupan, siapapun itu, maskulin atau feminin.

Penulis: Rini Asriasni
Wakil Ketua I DEMA UIN Alauddin Makassar

Sebelumnya
Selanjutnya