Selasa, 12 Januari 2021

Peran Hukum Dalam Memberikan Perlindungan Terhadap Perempuan Dari Tindak Kekerasan


OPINI, KNEWS - Kekerasan terhadap perempuan masih terus berlangsung. Dewasa ini ia semakin menjadi salah satu isu krusial dalam masyarakat bukan hanya pada tingkat nasional, tetapi juga masyarakat global. Kekerasan terhadap perempuan juga masih berlangsung di segala ruang: domestik maupun publik,bahkan kenyataannya kekerasan terhadap perempuan tidak hanya dilakukan secara individual melainkan juga oleh institusi sosial,ekonomi,politik,dan budaya.

Tindak kekerasan seksual terhadap perempuan akan mempengaruhi kesehatan seksualnya dan juga akan kehilangan 50% produktivitasnya. Tindakan kekerasan seksual tidak hanya berdampak pada organ reproduksi secara fisik saja, namun juga berdampak pada kondisi psikis atau mental korban.

Sejak tahun 2001 Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) berkomitmen menggelar Kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan (16 Days of Activism Against Gender Violence) yang diperingati mulai 25 November hingga 10 Desember setiap tahunnya. Kampanye ini merupakan Kampanye internasional upaya penghapusan kekerasan terhadap perempuan di seluruh dunia. Komnas Perempuan sebagai lembaga Negara yang memiliki mandat menghapuskan kekerasan terhadap perempuan di Indonesia,maka dari itu sejak tahun 1998 Komnas Perempuan secara aktif melakukan pencegahan, penanganan, pemantauan terhadap segala bentuk kekerasan terhadap Perempuan dan Pelanggaran hak asasi perempuan. Dipilihnya 16 Hari dari selama 25 November-10 Desember yaitu untuk menghubungkan secara simbolik antara kekerasan terhadap perempuan dan HAM,serta menekankan bahwa kekerasan terhadap perempuan merupakan salah satu bentuk pelanggaran HAM.

Namun karena pada saat ini kita berada di tengah-tengah wabah virus Covid-19 yang sampai hari ini belum juga memiliki kepastian kapan akan berakhir, maka dari itu kegiatan peringatan 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan pada tahun 2020 ini dilaksanakan dengan mengacu pada protokol kesehatan.

Membahas mengenai kekerasan terutama korbannya terhadap perempuan merupakan suatu permasalahan yang sangat luas dan tidak asing lagi kita dengar,baik bentuknya (kekerasan fisik,non fisik atau verbal dan kekerasan seksual),tempat kejadiannya (di dalam rumah tangga dan di tempat umum), jenisnya (pemerkosaan,penganiayaan, pembunuhan atau kombinasi dari ketiganya) maupun pelakunya (orang-orang yang memiliki hubungan dekat atau bahkan orang asing).

Hukum dituntut untuk dapat memberikan perlindungan kepada perempuan, dalam hal ini dapat menanggulangi tindak kekerasan seksual yang banyak dialami oleh masyarakat sosial khususnya perempuan. Agar dapat berjalan dengan baik maka diperlukannya penegak hukum bagi pelaku tindak kekerasan seksual sehingga dapat memberikan efek jera dan meminimalisir tindak kekerasan seksual terhadap perempuan. Penegakkan hukum merupakan kebijakan dalam hal penanggulangan kejahatan, dalam hal ini yang dimaksud berupa pemberian sanksi(hukum) pidana terhadap pelaku tindak kekerasan seksual.

Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) kekerasan adalah perbuatan yang dapat menyebabkan cidera atau matinya orang lain atau menyebabkan kerusakan fisik. Sedangkan kekerasan secara terminologi merupakan suatu keadaan dan sifat yang menghancurkan kehidupan manusia.Dengan demikian,kekerasan merupakan wujud perbuatan yang lebih bersifat fisik yang mengakibatkan luka,cacat,sakit atau berupa paksaan atau ketidakrelaan pihak yang dilukai.
Secara historis, akar terjadinya kekerasan terhadap perempuan yang sangat panjang yaitu bermula dari munculnya tradisi gender yang diyakini masyarakat, hampir semua uraian tentang program pengembangan masyarakat maupun pembangunan di kalangan organisasi non pemerintah diperbincangkan masalah gender.Namun, sampai hari ini
masih terjadi ketidakjelasan, kesalahpahaman tentang apa yang dimaksud dengan konsep gender dan kaitannya dengan usaha emansipasi kaum perempuan.

Kata gender dalam bahasa Indonesia dipinjam dari bahasa inggris. Namun,masyarakat kerap kali menganggap bahwa gender itu sama dengan sex, padahal kenyataannya kedua konsep itu berbeda. Kalau dilihat dalam kamus,tidak secara jelas dibedakan pengertian sex dan gender.Untuk memahami konsep gender harus dibedakan kata gender dengan kata sex(jenis kelamin). Pengertian jenis kelamin merupakan pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu. Misalnya, bahwa manusia jenis laki-laki adalah manusia yang memiliki penis,memiliki jakala dan memproduksi sperma. Sedangkan perempuan memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi telur, memiliki vagina dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat pada manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat tersebut tidak bisa dipertukarkan antara alat biologis yang melekat pada manusia laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak berubah dan merupakan ketentuan biologis atau sering dikatakan sebagai ketentuan Tuhan atau kodrat
Sedangkan gender, yakni suatu sifat yang melekat pada kaum laki-laki maupun perempuan yang dikonstruksi secara sosial maupun kultural sehingga telah mendarah daging di dalam tatanan masyarakat itu sendiri.Misalnya, bahwa perempuan itu dikenal lemah lembut,cantik,emosional,atau keibuan. Sementara laki-laki dianggap kuat,rasional,jantan,perkasa. Ciri dari sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan, sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, perkasa. Perubahan ciri dari sifat-sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-laki,itulah yang dikenal dengan konsep gender.

Pengaruh gender tertanam kuat di dalam berbagai institusi, tindakan, keyakinan, dan keinginan sehingga seringkali dianggap sebagai sesuatu yang wajar. Pada umumnya kekerasan terhadap jenis kelamin tertentu, khususnya perempuan yang mencakup kekerasan fisik seperti pemerkosaan dan pemukulan,sampai kekerasan dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan dan penciptaan ketergantungan itu dikarenakan hadirnya perbedaan gender dan sosialisasi gender yang amat lama sehingga mengakibatkan kaum perempuan secara fisik dianggap (lemah, lembut, emosional) dan laki-laki umumnya dianggap lebih (kuat, rasional, perkasa) tetapi hal itu tidak menimbulkan masalah sepanjang anggapan lemahnya perempuan tersebut mendorong laki-laki boleh dan bisa seenaknya memukul dan memperkosa perempuan.

Dalam masyarakat banyak sekali kekerasan terhadap perempuan yang terjadi karena adanya streotipe gender yang dilekatkan kepada kaum perempuan yang berakibat membatasi, menyulitkan, memiskinkan dan merugikan kaum perempuan itu sendiri. Bahkan banyaknya terjadi pemerkosaan justru bukan karena unsur kecantikan, namun karena kekuasaan dan streotipe gender yang diletakkan kepada kaum perempuan.

Kekerasan (violence) adalah serangan atau invasi (assault) terhadap fisik maupun integritas mental psikologis seseorang. Kekerasan terhadap sesama manusia pada dasarnya berasal dari berbagai sumber, namun salah satu kekerasan terhadap satu jenis kelamin tertentu yang disebabkan oleh anggapan gender. Bnyak macam dan bentuk kejahatan yang bisa dikategorikan sebagai kekerasan gender, diantaranya:
1. Bentuk pemerkosaan terhadap perempuan
2. Tindakan pemukulan dan serangan fisik yang terjadi dalam rumah tangga
3. Bentuk penyiksaan yang mengarah kepada organ alat kelamin
4. Kekerasan dalam bentuk pelacuran
5. Kekerasan dalam bentuk pornografi
6. Kekerasan dalam bentuk pemaksaan sterilisasi dalam Keluarga Berencana
7. Kekerasan terselubung,yakni memegang atau menyentuh bagian tertentu dari tubuh perempuan tanpa kerelaan si pemilik tubuh
8. Pelecehan seksual, yakni sebuah tindakan kejahatan terhadap perempuan yang paling umum dilakukan di masyarakat.

Pandangan hukum di Indonesia terhadap kekerasan yang dilakukan terhadap perempuan berpusat pada tidak adanya hukum yang secara khusus memberikan perlindungan terhadap perempuan yang menjadi korban kekerasan tersebut. Hal ini perlu kita hayati, sebab dari keluhan-keluhan masyarakat yang dapat kita baca dalam surat-surat kabar, majalah dan media-media lainnya seringkali terdengar dalam masyarakat bahwa hukum yang kita tegakkan kurang dinamis, masih berbau kolonial dan sebagainya. Pertanyaannya “Bagaimana hukum dapat ditegakkan dengan baik?”, hukum dapat ditegakkan apabila mendapat dukungan masyarakat luas dan yang terpenting ialah para penegak hukum adalah pejabat yang baik. Karena kekuasaan memerlukan kedewasaan jiwa, tanpa kedewasaan jiwa lebih besar kemungkinan akan terjadi penyalahgunaan kekuasaan.

Hukum Negara dan hukum agama secara gambling telah menentang keras segala bentuk tindakan diskriminasi dan secara internasional telah menjadi kesepakatan dunia untuk menghapuskannya. Laki-laki dan perempuan pada prinsipnya dilahirkan sama, namun ketika telah dilahirkan akan membawa kodrat dan peran masing-masing sehingga kadangkala dianggap bahwa kodrat manusia sebagai laki-laki dan perempuan berbeda. Namun dalam tataran aplikasi khususnya tugas-tugas kemasyarakatan maupun kenegaraan, laki-laki dan perempuan mengemban tugas yang sama.

Hak Asasi Manusia (HAM) dalam tataran nasional dan global telah mengakui bahwa persamaan derajat laki-laki dan perempuan merupakan tuntutan hukum yang tidak boleh diabaikan, segala bentuk diskriminasi merupakan pelanggaran HAM. Kenyataan masih menunjukkan bahwa dikotomi berdasarkan jenis kelamin masih kuat bertahan khususnya dalam masyarakat patriarki.

Hukum tidak dapat dipandang sebagai satu-satunya alat dalam pengendalian sosial,karena di samping hukum terdapat sarana pengendalian sosial lain yang timbul dalam pergaulan masyarakat seperti keluarga, persahabatan, ketetanggaan, desa, suku, pekerjaan, organisasi dan kelompok dalam berbagai bentuknya.

Setiap warga Negara berhak mendapatkan rasa aman dan bebas dari segala bentuk kekerasan sesuai dengan falsafah pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945: bahwa segala bentuk kekerasan,terutama kekerasan dalam rumah tangga merupakan pelanggaran hak asasi manusia dan kejahatan terhadap martabat kemanusiaan serta bentuk diskriminasi yang harus dihapus,bahwa korban kekerasan kebanyakan adalah perempuan yang semestinya mendapat perlindungan dari negara agar terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman,penyiksaan dan perlakukan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan.

Maka dari itu di Indonesia, Komisi Nasional Anti Kekerasan terhadap Perempuan (Komnas Perempuan) sendiri secara aktif menggelar kampanye 16 Hari Anti Kekerasan terhadap Perempuan bersama organisasi masyarakat sipil sejak tahun 2003. Kampanye ini pertama kali diinisiasi pada tahun 1991 oleh Women’s Global Leadership Institute dan mulai diakui PBB pada tahun 1999. Tujuan kampanye HAKTP adalah mendorong semua individu dan kelompok di seluruh dunia untuk menyuarakan penghapusan segala bentuk kekerasan terhadap perempuan serta meningkatkan kesadaran tentang kekerasan terhadap perempuan sebagai isu HAM di tingkat lokal, nasional dan internasional. Dipilihnya waktu di tanggal 25 November hingga 10 Desember dalam memperingati 16 HAKTP dikarenakan rentang waktu tersebut menghubungkan kekerasan terhadap perempuan dengan HAM secara simbolik, serta dalam rentang waktu tersebut juga terdapat Hari Aids Sedunia (1 Desember), Hari Internasional untuk Penghapusan Perbudakan (2 Desember), Hari Internasional Bagi Penyandang Cacat (3 Desember), Hari Internasional Sukarelawan (5 Desember), serta Hari Tidak ada Toleransi bagi Kekerasan terhadap Perempuan (6 Desember). Pada kampanye 16 HAKTP tahun ini,Komnas Perempuan mengajak kita untuk bersama-sama menyuarakan pengesahan RUU PKS atau Rancangan Undang- Undang Penghapus Kekerasan Seksual yang hingga sekarang belum menemui titik
terang. RUU ini merupakan payung hukum bagi korban kekerasan seksual di Indonesia yang bertujuan untuk mencegah segala bentuk kekerasan, menangani, melindungi, memulihkan korban, menindak pelaku dan menjamin terlaksananya kewajiban negara dan peran dan tanggung jawab keluarga, masyarakat dan korporasi dalam mewujudkan lingkungan bebas dari kekerasan seksual. Namun sayangnya, RUU PKS terjadi kontroversi yang menyebabkan kini tak kunjung disahkan, bahkan telah dikeluarkan dari daftar Prolegnas (Program Legislasi Nasional) 2020. Padahal RUU PKS mengatur tindak pidana kekerasan seksual yang tidak seluruhnya diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), karena pengaturan dalam KUHP hanya mencakup definisi kekerasan seksual secara terbatas dan tidak mengenal sejumlah tindakan kekerasan seksual, sehingga Undang-Undang ini tidak cukup untuk memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual.

Tahun ini, menurut data dari Komnas Perempuan, kampanye 16 HAKTP berlangsung di 25 provinsi,38 kota, dan 13 Kabupaten di Indonesia, serta diikuti oleh lebih dari 167 organisasi dan masyarakat sipil dengan total 284 agenda kegiatan kampanye. Pesan nasional yang hendak disampaikan dalam peringatan Kampanye 16 HAKTP pada tahun ini adalah “Gerak Bersama:Jangan Tunda Lagi,Sahkan RUU PKS”.

RUU PKS atau Rancangan Undang-Undang Penghapus Kekerasan Seksual ini menjadi amat penting sebab diharapkan mampu memberikan perlindungan terhadap korban kekerasan seksual yang beraneka ragam di tengah masyarakat awam, dan juga mampu melindungi perempuan dari sisi penegak hukum dan mendorong peran negara agar lebih bertanggung jawab terhadap upaya pemulihan korban dan pencegahan kekerasan seksual di masa datang. RUU ini juga memberikan rehabilitas bagi pelaku kekerasan seksual (pasal 88 ayat(3)). Fungsi dan tujuan rehabilitas ini adalah mencegah agar tindakan kekerasan seksual tidak terjadi lagi. Maka dari itu korban kekerasan seksual memerlukan kapasitas hukum atas tindak pidana yang dilakukan oleh para pelaku, dan sebagai masyarakat sosial penting kiranya dapat berpartisipasi dalam
melindungi korban kekerasan seksual untuk memperoleh keadilan dan mencegah kekerasan ini terjadi di kemudian hari dengan mendesak Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera mengesahkan RUU.


KESIMPULAN:
Kekerasan terhadap perempuan merupakan suatu kasus yang sering terjadi di kalangan masyarakat. Kekerasan ini biasa terjadi dalam bentuk kekerasan fisik seperti pemukulan dan pemerkosaan atau dalam bentuk yang lebih halus seperti pelecehan dan penciptaan ketergantungan. Kekerasan yang terjadi pada seorang perempuan umumnya dikarenakan oleh pengaruh gender yang tertanam kuat dan telah mendarah daging di dalam tatanan masyarakat,bahkan dengan adanya budaya patriaki yang masih kuat sehingga menempatkan laki-laki pada posisi dominan dan perempuan pada posisi tersubordinasi. Tingkat kekerasan terhadap perempuan di era modern ini semakin menjadi salah satu isu krusial dalam masyarakat global,bahkan jumlah kasus kekerasan seksual masih meningkat setiap tahunnya. Hingga saat ini belum adanya kebijakan yang mengakomodir hak-hak korban secara komprehensif. Oleh karena itu,untuk mengatasi masalah kekerasan terhadap perempuan,perlu adanya tindakan bersama antar semua pihak,agar korban kekerasan mendapat perlindungan dari negara sehingga terhindar dan terbebas dari kekerasan atau ancaman,penyiksaan dan perlakukan yang merendahkan derajat dan martabat kemanusiaan. Salah satu solusi dalam penanganan kasus seperti ini ialah dengan berjuang bersama mendesak Dewan Perwakilan Rakyat untuk segera mengesahkan RUU PKS yang bertujuan dalam mencegah segala bentuk kekerasan seksual,menangani,melindungi,dan memulihkan korban serta mewujudkan lingkungan bebas dari kekerasan terhadap perempuan.

Penulis : Fitri Ramdani
( Kader HMI Cabang Gowa Raya)
*Tulisan tanggung jawab penuh penulis*

Sebelumnya
Selanjutnya