Senin, 10 Januari 2022

Mari Menjadi Pemilih Cerdas


OPINI, KNEWS - Kondisi masyarakat Kabupaten Sinjai terkait dengan politik. Kabupaten Sinjai dihadapkan dengan pemilihan kepala desa (Pilkades) serentak. Pilkades ini diikuti sebanyak 54 desa. Ini merupakan salah satu pesta demokrasi terbesar yang diselenggarakan oleh pemerintah daerah Kabupaten Sinjai. 

Tentunya Pilkades kali ini akan melahirkan banyak bakal calon baru dan juga mantan kades kembali mencalonkan diri dengan tujuan melanjutkan program yang belum terlaksana hingga akhir periodenya. Di titik inilah dibutuhkan kontribusi pemuda Kabupaten Sinjai untuk menjadi pemilih yang memiliki konsistensi dalam menggunakan hak pilihnya berdasarkan sistem demokrasi di negara Indonesia.

Persaingan para kompetitor dalam mendulang suara pemilih akan semakin ketat dan tentu akan menguras energi dari masing-masing kandidat beserta pendukungnya. Pada kondisi tersebut, bukan tidak mungkin gesekan-gesekan para pendukung bisa saja terjadi. Di posisi inilah diharapkan peran penting pemuda milenial untuk mampu mengambil langkah, sebab kontribusi pemuda dalam Pilkades sangat mampu menentukan arah politik yang dilakukan oleh para kandidat.

Semua pihak harus menyadari bahwa Pilkades yang akan berlangsung sejatinya adalah untuk melahirkan pemimpin berkualitas. Pemimpin yang mampu membawa daerah yang dipimpinnya menjadi lebih baik, di mana rakyat dapat merasakan perubahan lebih baik dalam menjalani aktivitas hidupnya, ungkapnya.
Konsep politik yang berlaku pada masyarakat sinjai cenderung beragam, mereka melibatkan diri pada dunia politik karena beberapa factor, diantaranya : 

Pertama, Hubungan emosional
Emosional secara substansi adalah persoalan perasaan, yaitu ekspresi dan pengelolaan emosi, maka penerapan nilai ini terhadap praktik politik memiliki arti bahwa kita harus mencari jenis pengalaman yang mengalami emosionalisasi dari komunikasi politik, yang belum kita lakukan pada masa lalu karena hubungan emosional memberikan pengaruh besar terhadap mobilisasi massa yang akan di lakukan oleh berbagai calon kades yang telah resmi mendaftarkan dirinya pada panitia pilkades. 

Kedua, Hubungan Kekeluargaan
Tidak bisa di nafikkan bahwa di Kabupaten Sinjai masih terdapat beberapa titik masyarakat melibatkan diri pada politik dengan konteks kekeluargaan, karena hubungan kekeluargaan memiliki masih memiliki power tersendiri dalam pesta demokrasi, Politik dinasti dapat diartikan sebagai sebuah kekuasaan politik  yang dijalankan oleh sekelompok orang yang masih terkait dalam hubungan keluarga. Dinasti politik lebih indenik dengan konsep fanatic terhadap keluarga namu tak jarang politik juga bias merusak hubungan kekeluargaan.

Bagaimana Cara Menjadi Pemilih Cerdas?

Memilih dengan cerdas berarti memilih menggunakan akal sehat dan hati nurani. Memilih dengan akal sehat berarti sesuai penilaian objektif tanpa dipengaruhi faktor lain. Memilih dengan hati nurani berarti memilih dengan bertanya pada hati nurani, siapa calon yang benar-benar serius untuk membangun rakyatnya, bagaimana moral dan etikanya, bagaimana kualitas intelektualnya dan keterampilan profesional yang dimilikinya.

Karena penting bagi pemilih untuk dapat  mencermati program dan gagasan yang ditawarkan calon, apakah sejalan dengan cita-cita pemuda milenial atau tidak. Sehingga ke depannya mampu bekerja sama dan pemuda dilibatkan dalam pencapaian program-program tersebut. Saat ini Banyak cara yang dapat dilakukan untuk mengetahui program-program serta visi misi gagasan para calon pemimpin.

Olehnya itu, penulis berharap semestinya generasi milenial perlu memiliki pengetahuan dan kesadaran tentang pentingnya konsistensi dalam pemilihan calon kades dan dapat menjadi pemilih yang cerdas. Salah satunya menggunakan media sosial dan mampu meminimalisir berita-berita hoax.

Namun, masih banyak dari kaum muda yang terlibat politik bukan karena pilihan hati nuraninya, melainkan karena tekanan keluarga, tekanan pimpinan bahkan karena money politik. Jelas ini bertentangan dengan maksud pemilih cerdas, “Pemilih cerdas adalah pemilih yang rasional, objektif memilih berdasarkan penilaian dirinya, bukan karena dorongan uang, saudara, suku, agama”. 

Penulis tahu bahwa ini merupakan tantangan berat, namun kita mesti mengubah cara pandang politik kita karena di tangan dan pikiran pemuda ada masa depan yang harus diwujudkan demi kepentingan masyarakat. 

Paling penting, menjadi pemuda milenial harus memiliki prinsip anti golput dan memilih berdasarkan hati nuraninya, sebab satu suara pada pesta demokrasi sangat berperan penting untuk menentukan sosok pemimpin pada desanya masing-masing.

Tantangan Pemuda Milenial

Perkembangan teknologi digital yang begitu pesat telah mengubah gaya hidup dan cara bertindak manusia hari ini. Digitalisasi dan transformasi digital telah mendorong berbagai sistem yang ada menjadi lebih efisien, mudah, dan transparan.

Di balik sisi baik dari perkembangan tersebut juga merupakan  tantangan zaman milenial atau para generasi muda paham politik, dan tidak sedikit dari mereka yang telah banyak berkontribusi dalam sistem politik di daerahnya masing-masing. 

Mengutip tulisan Arif Nurul Imam, ”Tantangan Politik Kaum Muda” pada Kompas.com dirinya menjelaskan terkait dengan tantangan kaum muda pada politik:

Pertama, fenomena menguatnya gerontokrasi. Ini adalah suatu sistem yang dikendalikan atau diatur oleh orang-orang tua. Meski tidak bisa dinafikan terdapat anak-anak muda yang tampil di pentas politik atau jabatan publik, sejatinya itu pun lebih banyak sebagai subordinat politisi tua atau bagian dari klan politik. Politisi muda yang bukan bagian dari klan politik mesti mendaki dan merangkak dari bawah.

Banyak dari mereka masih terseok-seok untuk mendapatkan posisi strategis, baik di internal parpol maupun di jabatan-jabatan publik. Dalam banyak kenyataan, kaum tua harus diakui masih mendominasi, bukan hanya dilihat dari sisi jumlah komposisinya melainkan juga peran dan fungsi politik kaum tua masih terus mendominasi. 

Kedua, apatisme politik milenial. Survei CSIS yang dirilis pada awal November 2017 menyebutkan bahwa hanya 2,3 persen generasi milenial yang tertarik dengan isu sosial-politik. Ironisnya, isu sosial politik juga menjadi yang paling tidak diminati oleh generasi milenial. Litbang Kompas juga menunjukkan hanya 11 persen generasi milenial yang mau aktif menjadi anggota dan pengurus partai politik. 

Kendati demikian, kita juga tidak bisa serta-merta kemudian menghakimi sikap apatisme milenial terhadap politik. Sikap demikian, sangat boleh jadi, lantaran kemuakan mereka melihat polah-tingkah para elite politik yang pragmatis, menghalalkan segala cara, dan hanya berjuang untuk kepentingan pribadi dan golongannya. Pendek kata, sikap politik semacam itu juga bisa dibaca sebagai protes terhadap perilaku elite politik. 

Ketiga, sebagaimana fenomena umum, mengguritanya praktik oligarki menjadi salah satu tantangan anak muda hari ini untuk berkecimpung dalam politik. Guru besar dari Universitas Northwestern Amerika Serikat, Prof Jeffrey Winters, menyebut oligarki sebagai sistem kekuasaan yang dikendalikan oleh golongan atau pihak berkuasa dengan tujuan kepentingan golongan itu sendiri, termasuk mempertahankan kekuasaan serta kekayaan.

Dengan menguatnya praktik politik semacam ini, anak muda yang memiliki gagasan dan modal politik harus berjuang ekstra untuk menjebol tembok oligarki. Ini tentu tidak mudah.

Selain mesti menyiapkan stamina dan sumber daya politik, anak-anak muda ini sudah pasti harus pula memiliki strategi politik untuk berhadapan dengan kekuatan oligarki.

Konsep politik secara hubungan emosional dan kekeluargaan masing-masing memiliki keterkaitan satu sama lain, karena hubungan kekeluargaan harus juga terbangun hubungan emosional untuk mobilisasi massa pada pilkades. 

Menjadi pemilih cerdas itu penting bagi masyarakat terkhusus kepada generasi milenial. Generasi milenial merupakan pionir pada asas demokrasi yang diharapkan mampu menumbuhkan kesadaran politik cerdas pada masyarakat agar dapat menggunakan hak pilihnya dengan baik.

Penting untuk kita memilih kandidat yang sejalan dengan cita-cita kaum milenial. Sebab pemilih yang cerdas menghasilkan pemimpin jujur, cerdas, adil, dan mampu menjaga amanah. Semakin tinggi kualitas pemilu, semakin baik pula kualitas para wakil rakyat yang bisa terpilih dalam lembaga perwakilan rakyat maupun pemimpin di lingkup eksekutif.

Penulis : Syahrul Gunawan 
(Mahasiswa Pascasarjana UMI)

*Tulisan tanggungjawab penulis*

Sebelumnya
Selanjutnya