Sekretaris Jenderal Front Gerakan Aktivis Indonesia (FRAKSI), Muh Awaluddin Mangantarang angkat bicara terkait hal itu, Awal sapaan akrabnya mengatakan, "Sudah seharusnya menteri ESDM, Ignatius Jonan juga memperhatikan serius hal ini mengingat sudah hampir setengah abad, selama puluhan tahun PT.Vale menguasai lahan yang terletak di Kabupaten Kolaka tersebut dengan janji akan membangun pabrik pengolahan nikel. Tapi, sampai saat ini, janji tersebut masih sebatas angin surga belaka. Lebih lanjut, aktivis yang terkenal kritis tersebut menuturkan, "Sejak tahun 1968 lahan tersebut tidak pernah dikelola. Pemerintah setempat hanya dijadikan sebagai satpam alias penjaga lahan. Padahal seandainya lahan seluas 21 ribu hektar itu dimanfaatkan dengan baik maka perekonomian masyarakat sekitar juga akan meningkat. Termasuk dengan ekonomi daerah yang juga akan berkembang, katanya, Senin (6/8/18).
Lebih lanjut, Awal mengkritik sekaligus mendesak menteri ESDM, Ignatius Jonan untuk memperhatikan hal ini. "Boleh, kalau untuk urusan Blok Rokan atau Freeport menteri ESDM mengklaim sebagai sebuah keberhasilan dalam mengembalikan penguasaan dan pengelolaan Sumber Daya Alam ke pangkuan Ibu pertiwi, tapi untuk pengusaan lahan PT Vale yang sudah setengah abad tidak memberikan kontribusi banyak bagi negara dan khususnya kontribusi untuk masyarakat lokal kabupaten Kolaka saya anggap menteri ESDM tidak becus untuk urusan PT Vale ini, untuk itu saya mendesak menteri ESDM serius memperhatikan hal tersebut". sambung aktivis dan praktisi sosial tersebut.
Pihaknya menambahkan mengapa menteri ESDM selaku pemerintah pusat harus memperhatikan ini, sebagai contoh PT ANTAM, notabene adalah BUMN, artinya perusahaan itu milik negara, jauh-jauh mendatangkan material dari Halmahera, sementara ada lahan yang begitu luas di kuasai oleh perusahaan Asing (PT Vale), lahan yang secara geografis letaknya dekat berada dalam wilayah yang tidak jauh dari pabrik PT ANTAM dan bisa dikelola lantas pengusaan lahan tersebut yang sudah cukup lama namun tidak memberikan kontribusi bagi masyarakat lokal sekitar, saya rasa itu hal yang patut kita pertanyakan? Saya tegaskan, "Lahirnya Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 1 tahun 2017 tentang Pelaksanaan Kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara beserta turunannya menjadi langkah Pemerintah dalam mengawal kebijakan hilirisasi minerba, divestasi 51 persen dan penataan kembali Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Ini sudah menjadi tugas dan kewajiban Kementerian ESDM mencakup pembangunan fasilitas pengolahan dan pemurnian, landasan hukum pengusahaan dan perpanjangan operasi. Ketiga hal tersebut harus dapat direalisasikan sehingga dapat terwujud amanat UU 4/2009 dan PP 1/2017". Sebagai penegasan bahwa pemanfaatan sumber daya alam sebesar-besarnya untuk kemakmuran rakyat.
"Bayangkan kalau BUMN seperti PT ANTAM hanya punya IUP seluas 6000 hektar atau BUMD Perusda Kolaka hanya 340 hektar, jadi pandangan saya Izin Kontrak Karya PT Vale sudah seharusnya diubah menjadi seperti Freeport yakni Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK). Sebab, IUPK mengikuti aturan perpajakan yang berlaku di Indonesia sehingga pendapatan negara dan daerah akan jauh lebih besar, jika lahan yang begitu besar tersebut PT Vale tidak mampu mengelola, baiknya pemerintah pusat segera meninjau regulasi perizinannya pengelolaannya di berikan sebagian kepada perusahaan BUMN atau BUMD seperti PT ANTAM atau mungkin juga kepada Perusahaan Lokal Daerah seperti Perusda, sehingga distribusi pengelolaan Sumber Daya Alam tidak di monopoli sepihak, apalagi ini pihak asing, dan tentu itu akan menjadi nilai kontribusi ekonomi bagi pembangunan baik nasional maupun daerah yang tentu berdampak kepada masyarakat, khususnya daerah yang masuk dalam wilayah atau daerah lahan pertambangan tersebut beroperasi agar punya nilai asas manfaat, bukan penguasaan yang sudah berlangsung sejak lama, dengan monopoli lahan yang begitu besar tetapi tidak memilik asas kontribusi bagi pembangunan, utamanya masyarakat lokal sekitar", tutupnya. (*KNrds)