KNEWS.CO.ID, Jakarta – Wakil Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia (Wamenkum), Edward O. S. Hiariej, menegaskan bahwa Indonesia telah menerapkan konsep perampasan aset sejak diberlakukannya Undang-Undang Tindak Pidana Korupsi (UU Tipikor) pada tahun 1964, dan terus berlanjut dengan UU No 20 Tahun 2021. Pernyataan ini disampaikan Wamenkum pada acara Media Gathering Kementerian Hukum dan HAM di Jakarta pada Rabu, 4 Desember 2024.
Eddy, sapaan akrab Wamenkum, mengungkapkan bahwa banyak pihak yang menganggap bahwa perampasan aset baru menjadi perhatian utama, padahal praktik ini telah diterapkan sejak lama. Menurutnya, meskipun ada berbagai perubahan regulasi, inti dari perampasan aset terhadap koruptor tetap ada di dalam UU Tipikor yang sudah berlaku selama puluhan tahun.
Perampasan aset dalam kasus korupsi telah diterapkan oleh berbagai lembaga penegak hukum seperti Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Kejaksaan Agung, dan Kepolisian Negara Republik Indonesia. Meskipun begitu, proses perampasan aset ini dilakukan dengan dasar Conviction Based Asset Forfeiture, yang berarti hanya dapat dilakukan setelah ada keputusan pengadilan yang mempunyai kekuatan hukum tetap.
"Putusan pengadilan dalam tindak pidana korupsi pasti mencantumkan bahwa selain pelaku dijatuhi pidana, ada aset yang disita atau dirampas untuk negara," jelas Eddy, menambahkan bahwa proses ini mengikuti ketentuan Conviction Based Asset Forfeiture yang sudah diatur dalam hukum pidana Indonesia.
Namun, Wamenkum juga menyoroti adanya perkembangan baru dalam perampasan aset melalui RUU Perampasan Aset yang tengah dibahas. Dalam RUU ini, diperkenalkan konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture (NCBAF) yang memungkinkan perampasan aset tanpa pemidanaan terlebih dahulu, yang sesuai dengan prinsip dalam United Nations Convention Against Corruption (UNCAC).
Konsep Non-Conviction Based Asset Forfeiture ini merupakan hal baru yang perlu dikaji lebih mendalam, karena akan memungkinkan perampasan aset dilakukan meskipun pelaku korupsi belum dijatuhi hukuman atau belum terbukti di pengadilan. Hal ini, menurut Wamenkum, berpotensi memberikan dampak signifikan dalam pemberantasan korupsi di Indonesia.
Wamenkum menegaskan, meski RUU Perampasan Aset belum menjadi prioritas utama dalam Prolegnas, Pemerintah dan DPR berkomitmen untuk serius membahasnya. RUU ini akan dikaji lebih dalam dalam Prolegnas Jangka Menengah 2025-2029. Pemerintah ingin memastikan bahwa setiap langkah yang diambil dapat memberikan efek jera yang maksimal terhadap pelaku korupsi, tanpa mengabaikan hak-hak hukum yang berlaku.
Selain itu, Eddy mengingatkan bahwa perampasan aset yang dilakukan di bawah ketentuan Conviction Based Asset Forfeiture selama ini masih perlu peningkatan dalam implementasinya, agar prosesnya lebih efektif dan transparan. Oleh karena itu, pembahasan terkait RUU Perampasan Aset harus dilakukan secara cermat dan hati-hati agar tidak menimbulkan masalah baru di kemudian hari.
Indonesia terus berupaya untuk memperbaiki sistem hukum dan mengoptimalkan pemberantasan korupsi, termasuk dengan memperkuat regulasi terkait perampasan aset. Pembahasan mendalam atas RUU Perampasan Aset diharapkan dapat menjawab tantangan dalam pemberantasan korupsi dan memberikan efek yang lebih besar dalam menanggulangi praktik korupsi di tanah air.
Dengan langkah-langkah tersebut, diharapkan Indonesia dapat semakin memperketat pengawasan terhadap tindak pidana korupsi dan memastikan bahwa setiap pelaku korupsi harus mempertanggungjawabkan hasil kejahatannya, baik melalui hukuman pidana maupun perampasan aset yang merugikan negara.
0 Comments