Pakar Hukum: Jika Melihat Selisih, MK Harus Tolak Banyak Gugatan Pilkada

 (Ket Foto: Margarito Kamis)
KNEWS, JAKARTA - Sidang sengketa pilkada 2018 akan digelar di Mahkamah Konstitusi (MK). Menyidangkan lebih dari puluhan perkara, MK diminta tetap menaati batas maksimal selisih suara dalam mengadili sengketa pilkada. Ahli hukum tata negara Margarito Kamis mengatakan MK haruslah mentaati Pasal 158 UU Pilkada. Sebab pasal itu sudah jelas mengatur mengenai syarat-syarat pengajuan gugatan. Salah satunya terkait selisih limitatif yang jumlahnya 0,5-2,0 persen bergantung pada jumlah penduduk di daerah yang bersangkutan. "Itu sudah terang benderang. Lain halnya kalau tidak ada tafsirnya," kata Margarito.

Menurut Margarito, pengajuan perkara Pilkada dengan selisih suara di atas 2 persen sudah tentu melanggar Pasal 158. MK bisa langsung tegas untuk tidak melanjutkan penanganan perkara tersebut. "Jadi kalau mau bicara hukum positif, MK tidak punya pilihan lain, menerima atau menolak perkara. Kalau melihat ini, maka perkara-perkara yang selisih suara melebihi 2 persen atau bertentangan (dengan UU Pilkada) mesti ditolak," tuturnya.

Senada di sampaikan  Sekretaris Jenderal MK, Guntur Hamzah menegaskan untuk sengketa Pilkada Serentak 2018 ini, MK menyatakan kesiapannya untuk menerima, mengadili, dan memutus permohonan sengketa pilkada. “Kita sudah persiapkan secara matang baik dari regulasinya hingga sarana dan prasarananya. Pendaftaran telah dibuka sejak 3 Juli lalu dan dapat dilakukan pendaftaran secara online,” kata Guntur Hamzah belum lama ini di Gedung MK.


Dibuka mulai Selasa 3 Juli 2018 yang lalu, pendaftaran sengketa pilkada akan berakhir tanggal 12 Juli. Setelah itu, pemeriksaan kelengkapan berkas permohonan sengketa pilkada tanggal 12 Juli hingga 17 Juli. Lalu, perbaikan kelengkapan berkas para pemohon tanggal 16 Juli hingga 20 Juli.

Setelah tanggal 23 Juli, kata Guntur, akan dilakukan registrasi atau pencatatan permohonan-permohonan pemohon dalam BRPK (Buku Registrasi Perkara Konstitusi). Jangka waktu penyelesaian perkara sengketa pilkada selama 45 hari kerja sejak berkas (lengkap) teregistrasi pada 12 Juli.

“Setelah itu memasuki sidang pendahuluan untuk mengetahui perkara mana yang memenuhi syarat selisih suara menggugat hasil pilkada seperti diatur Pasal 158 UU Pilkada. Nantinya, ada putusan dismissal untuk menentukan kelanjutan perkara itu,” lanjutnya.

Sebab, menurut Guntur, hal terpenting dalam syarat pengajuan permohonan sengketa pilkada ini, harus memiliki selisih 0,5 persen sampai dengan 2 persen sesuai jumlah penduduk daerah setempat dari total hasil rekapitulasi penghitungan suara sah yang ditetapkan KPUD setempat. Persyaratan ini diatur dalam Pasal 158 UU No. 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua UU Pilkada dan Peraturan MK tersebut.  

Sidang pendahuluan sendiri dijadwalkan akan dilaksanakan tanggal 26 Juli 2018. Setelah itu dilakukan pengambilan putusan dismissal yang jatuh pada tanggal 9 Agustus. Kemudian, sidang sengketa pilkada harus sudah selesai pada tanggal 26 September. Pada 26 September ini telah akan diputus semua perkara sengketa pilkada 2018.

“MK telah memberi bimbingan teknis secara bertahap kepada KPU, Bawaslu dan juga Pengacara dari setiap calon kepala daerah tentang bagaimana mekanisme beracara sengketa pilkada di MK,” katanya.(*KNhko)