![]() |
Suimran Syahir |
Untuk mempertahankan produktivitas masyarakat di setiap sendi kehidupan, baru-baru ini pemerintah menyerukan konsep tatanan kehidupan baru atau kerap disebut “New Normal”. Konsep ini menunjukkan bahwa masyarakat sudah dapat beraktivitas kembali tapi dengan kebiasaan baru melalui protocol kesehatan yang ketat.
Salah seorang akademisi, Suimran Syahir mengatakan diperlukan orientasi yang cukup matang terkait New Normal ini agar tersampaikan dengan baik di tengah masyarakat. “Konsep ini akan berhasil jika disosialisasikan secara massif oleh pemangku kebijakan,” kata pria yang akrab disapa Imran itu, Sabtu 30 Mei 2020.
Namun, Imran menilai konsep New Normal ini jika melihat dari tuntutan perilaku yang akan dijadikan kebiasaan hidup masyarakat, terdapat kecenderungan masyarakat menjadi individualis dan justru bertentangan dengan tradisi sosial yang turun temurun dijadikan adab oleh masyarakat.
“Khususnya bagi kita masyarakat Bugis-Makassar, menjaga jarak berarti kita tidak akan berjabat tangan lagi, anak-anak kita tidak akan cium tangan guru di sekolah lagi, pertemuan diprioritaskan melalui daring, perilaku seperti ini bukan kehidupan sosial yang diturunkan oleh para leluhur kita yang sudah lama kita jaga,” beber Imran.
Founder Law School FH UIT itu meminta agar para pemangku kebijakan dapat memberikan pemahaman kepada masyarakat, sebagaimana yang dijelaskan di atas bahwa memasuki kehidupan New Normal ke depan berarti masyarakat Bugis-Makassar harus meninggalkan peradaban dan tradisi yang diwariskan nenek moyang sejak beribu tahun lamanya.
“Kami berharap pemerintah dapat menjelaskan hal itu (New Normal, red) bagaimana cara kita tetap menjadi manusia yang secara prinsipil merupakan makhluk sosial, bukan makhluk individualis yang ditakutkan terjadi jika New Normal ini telah diterapkan,” pungkasnya. (**)