KNEWS.CO.ID - Berbicara tentang dunia kepolisian sebenarnya cukup menarik untuk kita ketahui bersama sebagai bahan edukasi terutama kepada para kaum muda yang aktif dalam melakukan gerakan-gerakan revolusioner di era sekarang ini.
Jika berbicara tentang sejarah kepolisian, bukan waktu singkat untuk berdirinya suatu Institusi Kepolisian Negara Republik Indonesia, terdapat beberapa fase hingga terbentuknya Institusi ini, mulai dari sejarah Polri di masa kolonial belanda, masa penjajahan jepang, periode kemerdekaan 1945-1950, periode kemerdekaan 1950-1959, masa orde lama dan masa orde baru.
Sejarah terbentuknya Polri juga melewati masa Reformasi 1998 yang menandai jatuhnya pemerintahan orde baru dan di gantikan oleh pemerintahan reformasi dalam hal ini Bapak B.J Habibie sebagai Presiden Indonesia, dan pada masa itu juga muncul sebuah tuntutan agar Polri di pisahkan dari Angkatan Bersenjata Republik Indonesia (ABRI). Dari tuntutan inilah, maka terbit intruksi Presiden no. 2 Tahun 1999 yang memisahkan Polri dari ABRI, dan sejak tanggal 1 April 1999 Polri resmi berada di bawah Departemen Keamanan dan Pertahanan (DEPHANKAM).
Polri atau kepolisan Negara republik Indonesia institusi kepolisian nasional Indonesia yang bertanggung jawab langsung kepada presiden republik Indonesia. Jika kita ingin mengetahui mengenai tugas pokok dan fungsi dari yang terdapat pada Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Republik Indonesia terkhusus pada pasal 4, 5 dan 13, dapat kita cermati juga dari motto polri itu sendiri yang berbunyi “Rastra Sewakottama” kata rastra dalam bahasa sansekerta berarti ‘bangsa’ atau ‘rakyat’ dan sewakottama berarti “pelayan terbaik” motto ini kemudian diartikan menjadi ‘polri sebagai pelayan dan abdi utama Negara dan bangsa’. maka jelaslah tugas polri adalah memelihara keamanan dan ketertiban, menegakkan hukum, melindungi, mengayomi dan melayani masyarakat. Sungguh mulia tugas seorang aparat kepolisian jika kita pikir.
Akan tetapi jika kita melihat dari sisi gelap kepolisian, ada beberapa kasus yang sempat menjadi sorotan masyarakat dikarenakan aparat yang dikenal sebagai pelayan yang mengayomi masyarakat itu kemudian keluar dari tugas dan fungsinya sebagai pengayom masyarakat. Mengutip dari tulisan Martin Sitompul, dalam “Kisah Penganiayaan Oleh Polisi di Era 1970-an”, yang bermula dari pengakuan sarpan, seorang kuli bangunan yang di gebuki polisi sampai mukanya bonyok di sel tahanan polsek Precut Sei Tuan, Medan. Sarpan pada saat itu di periksa sebagai saksi kasus pembunuhan kernetnya bernama Dodi. Karena dianggap memberikan keterangan berbelit-belit, polisi penyidik menganiaya sarpan lewat cara memukul, menendang, sampai menyetrumnya. Yang kemudian Kepolisian daerah Sumatra utara akhirnya mencopot 9 anggotanya yang terbukti bersalah melakukan tindakan penganiayaan itu. Cara brutal kepolisian dalam mengorek inormsi memang sering terjadi karena diaggapnya sebagai metode ampuh untuk mengintrogasi. Akan tetapi, praktik demikian tentu saja tidak sesuai dengan kemanusiaan yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa seseorang.
Juga di beberapa kasus yang terjadi di negeri ini dimana tindakan aparat kepolisian itu kemudian melakukan tindakan pengaman terhadap aksi demonstran tidak sesuai lagi dengan Standar Operassional Prosedur (SOP), pada pasal 28 perkap 7/12 dalam pasal ini terdapat beberapa poin yang mengatur upaya paksa harus dihindari terjadinya hal-hal yang kontra produkti. Isi pasal juga sebenarnya melarang polisi membalas lemparan demonstran dan menangkap dengan kekerasan, dengan kata lain polisi tidak boleh emosi dalam menangani aksi demonstran. sering kita dengar aparat kepolisian mengatakan “polisikan juga manusia”, pernyataan ini sebenarnya dapat kita bantah bahwa polisi itu manusia yang berbeda, dia dilatih berkali-kali, ada peraturan, Standar Operassional Prosedur (SOP), ada alat, ada senjata. Dan ketika aparat kemudian tidak melaksanakan aturan itu, sudah jelas bahwa aparat kepolisian itu keluar dari peraturan perundang-undangan dan melanggar Hak Asasi Manusia (HAM).
Contoh kasus pada aksi penolakan RUU OMNIBUS LAW pada tanggal 16 Juli 2020 di depan gedung DPRD Sulawesi-Selatan, banyak video yang beredar pihak kepolisian yang membubarkan aksi massa dengan puluhan kali tembakan gas air mata dan melakukan penangkapan dengan cara memukuli hingga beberapa demostran harus di larikan kerumah sakit terlebih dahulu untuk mendapat pertolongan pertama karena mengalami pendarahan pada bagian kepala,. Tindakan kepolisian yang melakukan tembakan gas air mata yang membabi buta dan di sertai penangkapan yang di barengi pemukulan pada korban itu dinilai masyarakat sangat tidak manusiawi dan terkesan lebih kepada ajang pamer kekuatan. Jika pandangan masyarakat terhadap aparat kepolisian kemudian sudah di cap rusak dan cacat prosedural, lantas apa langkah pemerintah dalam menyikapi paradigma yang muncul di tengah kegelisahan masyarakat sekarang ini.
Penulis : Muh. Rizal (Wakil Sekretaris Umum II DEMA UIN Alauddin Makassar, Kader HmI Cabang Gowa Raya)
*Tulisan tanggung jawab penuh penulis*
0 Comments