KNEWS.CO.ID, Jakarta – Mahkamah Konstitusi (MK) akan menggelar sidang lanjutan pada Senin (18/11) pukul 10.30 WIB untuk mendengarkan keterangan dari DPR dan Ahli Presiden dalam perkara pengujian materiil Pasal 35 ayat (1) UU Nomor 3 Tahun 2020 tentang Pertambangan Mineral dan Batubara terhadap Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD 1945). Permohonan yang terdaftar dengan nomor perkara 77/PUU-XXII/2024 diajukan oleh Rega Felix, seorang advokat.
Pemohon, yang merupakan warga negara Indonesia dan juga seorang dosen non-PNS serta advokat, mengajukan pengujian terhadap Pasal 6 ayat (1) huruf j dan Pasal 35 ayat (1) UU Minerba yang dianggap berpotensi menciptakan ketidakadilan dan diskriminasi dalam pengelolaan sumber daya alam (SDA), khususnya terkait dengan penawaran Wilayah Izin Usaha Pertambangan Khusus (WIUPK) secara prioritas. Pemohon berpendapat bahwa kebijakan tersebut dapat menimbulkan sektor tambang yang lebih mengutamakan pertimbangan agama, suku, ras, dan golongan (SARA), yang bisa merugikan integritas dan persatuan bangsa.
Dalam permohonannya, Pemohon meminta agar MK menyatakan bahwa frasa “melaksanakan penawaran WIUPK secara prioritas” dalam Pasal 6 ayat (1) huruf j tidak sah secara hukum jika tidak dimaknai dengan ketentuan "tanpa dasar pertimbangan suku, agama, ras, dan antargolongan". Pemohon juga mengajukan agar Pasal 35 ayat (1) yang mengatur tentang kewenangan usaha pertambangan yang dilaksanakan berdasarkan perizinan dari pemerintah pusat, juga dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 jika tidak menghapuskan unsur-unsur diskriminasi SARA.
Sebelumnya, dalam sidang mendengarkan keterangan DPR dan Presiden pada 14 Oktober 2024, Tri Winarno, Direktur Jenderal Mineral dan Batubara Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral, menjelaskan bahwa kewenangan penawaran WIUPK secara prioritas bertujuan untuk memberikan peluang ekonomi yang lebih besar dan manfaat yang lebih maksimal bagi masyarakat melalui pengelolaan yang lebih partisipatif. Winarno juga menekankan bahwa penawaran prioritas ini membuka ruang bagi kolaborasi antara berbagai pihak, baik BUMN, BUMD, maupun pihak swasta dalam pengelolaan SDA.
Tri Hayati, Guru Besar Ilmu Administrasi Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia, dalam sidang pada 30 Oktober 2024, mengungkapkan bahwa kewenangan pemerintah dalam menawarkan WIUPK secara prioritas merupakan kewenangan atribusi yang sah selama tidak disalahgunakan. Menurutnya, pengaturan lebih lanjut mengenai pelaksanaan kewenangan ini harus dilakukan melalui Peraturan Pemerintah, Peraturan Presiden, atau Peraturan Menteri untuk memastikan transparansi dan akuntabilitas dalam implementasinya.
Kasus ini memunculkan perdebatan tentang seberapa besar pengaruh agama, suku, ras, dan golongan dalam proses pengelolaan sumber daya alam di Indonesia. Pemerintah berpendapat bahwa pengaturan yang lebih fleksibel dapat memperluas kapasitas pengelolaan SDA, namun Pemohon khawatir hal tersebut akan mengarah pada sektarianisme yang dapat merugikan persatuan bangsa. Sidang lanjutan ini akan menjadi penting untuk menentukan apakah Pasal 6 ayat (1) huruf j dan Pasal 35 ayat (1) UU Minerba perlu direvisi untuk menghapus diskriminasi dalam pengelolaan pertambangan di Indonesia.
0 Comments