Kamis, 01 Oktober 2020

HMI Komisariat Adab dan Humaniora Gelar Webinar : Ziarah Luka Sejarah Merah


GOWA, KNEWS – Himpunan Mahasiswa Islam Komisariat Adab dan Humaniora Cabang Gowa Raya menggelar Webinar yang bertemakan “Ziarah Luka Sejarah Merahvery ” (Rabu 30/09/2020).

Dalam webinar ini pengurus HMI Komisariat Adab dan Humaniora mengundang Soe Tjen Marching, Bonnie Triyana dan Muhammad Ridha sebagai narasumber.

Adapun pembahasan yang diangkat oleh Soe Tjen Marching tentang penghancuran gerakan perempuan.

“Melalui koran-koran yang terbit antara 01 Oktober 1965 dan bulan-bulan pertama 1966 Gerwani (Gerakan Wanita Indonesia) yang diindikasikan dekat dengan PKI dan mempunyai 1,5 juta anggota itu ikut ditumpas. Tidak hanya dengan penyiksaan, pembunuhan dan perbuatan keji lainnya, tetapi juga dengan serangkaian fitnah, bahwa Gerwani adalah kumpulan perempuan-perempuan bermoral bejat, liberal dalam tradisi, dan terutama ikut barisan pendukung pembunuhan tujuh jenderal. Tidak mengejutkan bahwa kelompok kontra-revolusioner dapat menggunakan cara apapun, bahkan yang paling bengis sekalipun” Terangnya.

Sementara itu, Muhammad Ridha membahas terkait kekerasan budaya pasca 65 melalui tilikan buku Kekerasan Budaya Pasca 1965: Bagaimana Orde Baru Melegitimasi Anti-Komunis Melalui Seni dan Sastra (selanjutnya disingkat KBP 65) berupaya menguak misteri itu dengan membedah akar hegemoninya, kekerasan budaya.

“Di Indonesia pola penghancuran komunisme dilakukan dengan mendiskreditkan politik dan kebudayaan komunis kemudian memihak ideologi liberal. Soeharto menghancurkan PKI pada 1965 menggunakan ideologi Pancasila versinya kemudian mengagung-agungkan landasan ideologi kapitalisme yang sesungguhnya liberalisme. Ideologi liberalisme diusung dengan sangat masif sebagai upaya menghujat ide-ide kebudayaan kiri labelnya adalah humanisme universal yang cukup ampuh. Pemerintah AS berada di balik rekayasa ini. Ideologi anti-komunis di arena kebudayaan merupakan pertarungan ideologi dan politik untuk mencari identitas kebudayaan nasional Indonesia. Konteksnya adalah pertarungan ideologi dan politik masa perang dingin pada 1950-1960an" ujarnya

Lebih lanjut dia mengatakan " Amerika Serikat (AS) memberikan dukungan sepenuhnya atas upaya kekuatan politik dan kebudayaan pro-barat dalam gerakannya menghadang laju komunisme di Indonesia. Selain bantuan militer dan ekonomi, Pemerintah AS juga menggelontorkan bantuan sangat besar untuk memajukan pendidikan dan kebudayaan di Indonesia melalui berbagai institusi filantropi dan kebudayaannya untuk membentuk aliansi anti-komunis di Indonesia. Dukungan ini, sejalan dengan kebijakan politik luar negeri AS” Paparnya

Muhammad Ridha mengkorelasikan kekerasan pasca 65 dan BKK. Eksistensi perempuan tidak terlalu eksis di ranah publik karena dalam BKK perempuan ada di bawah ketiak laki-laki, perempuan tidak memiliki kemerdekaan untuk berekspresi di ranah publik pasca orde baru.

Sedangkan narasumber ke 3, Bonnie Triyana membahas terkait genosida intelektual.

“Gerakan kontra-revolusi (Tragedi 1965) yang telah memukul mundur kesadaran dan kapasitas rakyat untuk memperjuangkan kehidupan mereka turut menghantam kehidupan kampus-kampus di Indonesia. Kampus sebagai ruang kebebasan akademik tak luput dari pusaran kejahatan kemanusiaan. Civitas akademika di kampus dari dosen, staf dan mahasiswa banyak yang dipecat, ditangkap dan tidak diketahui nasibnya. Mereka dianggap sebagai kaum kiri yang oleh militer pro-Soeharto dituduh terlibat pada peristiwa 30 September 1965." Ujarnya

"Dampak Peristiwa 1965 bagi universitas (negeri) di Indonesia memang sangat besar mulai dari sisi SDM dan personalia, akademik, hingga manajerial aspek. Strategi anti-komunis Orde Baru pasca 1965 bisa dianggap sebagai kekerasan (kultural) intelektual, Budaya intelektual dan tradisi kritis menurun, sedangkan aktivisme politik mahasiswa dibatasi dengan ketat” cetusnya.

Webinar ini digelar dalam rangka memperingati peristiwa G30S sekaligus langkah-langkah kecil dalam meluruskan narasi sejarah tentang Indonesia

(Ode)

Sebelumnya
Selanjutnya