Rabu, 28 Oktober 2020

Pemudi Dibalik Sumpah Pemuda


OPINI, KNEWS - Kembali mengungkap sumpah pemuda sebagai salah satu tonggak kebangsaan yang menjadi bahan renungan dan sejarah yang memberikan peringatan kepada seluruh pemuda sesuai dengan perkembangan tantangan permasalahan. Untuk kepentingan melihat sumpah pemuda, mari kita mengadopsi cara pandang Soekarno tentang “masa” trilogi sejarah yang dinamakan trimurti atau trimatra: yaitu masa lalu yang jaya (the glorius past), masa kini yang sulit (the dark present), dan masa depan yang cerah (the golden future) yang menarik untuk digunakan dalam melihat pasang surut rasa kebangsaan bangsa Indonesia sebagai suatu bangsa.

Persoalan kebangsaan yang terumuskan dalam sumpah pemuda bukanlah suatu peristiwa yang terjadi secara tiba-tiba. Namun, hasil tersebut merupakan proses panjang mulai dari Kebangkitan Nasional, dan pelaksanaan edukasi sebagai bagian dari politik assosiasi, biasa di kenal dengan politik balas budi pada abad ke-20. Selain sebagai hasil dari proses juga merupakan awal dari peristiwa-peristiwa setelahnya.

Terkait dengan sumpah pemuda bahwa pemuda adalah agen perubahan yang cinta tanah air, mengaku berbangsa indonesia dan menjunjung bahasa Indonesia selaku bahasa persatuan, hal itu memang benar adanya.  Dilansir dari salah satu artikel mengenai sejarah sumpah pemuda bahwa perjuangan bangsa Indonesia untuk membebaskan diri dari belenggu kolonialisme yang mengutamakan fanatisme kedaerahan selama tiga abad, memasuki sejarah baru dengan bangkitnya sejumlah pemuda mendirikan organisasi-organisasi kepemudaan nasional.

Perjuangan yang awalnya lebih bersifat kultural berubah menjadi perjuangan yang membawa isu-isu nasionalisme denganlebih mengedepankan diplomasi politik. Tercatat pada tahun 1915-an berdiri sejumlah besar organisasi kepemudaan yang masih bersifat kedaerahan, seperti Tri Koro Darmo yang kemudian menjadi Jong Java (1915), Jong batak dan organisasi lainnya. Adapun Perhimpoenan Peladjar-Peladjar Indonesia (PPPI) yang berdiri setelah Kongres Pemuda I pada tahun 1926 yang beranggotakan pelajar dari seluruh Indonesia. Tokoh-tokohnya adalah Sigit, Soegondo Djojopoespito, Soewirjo, S. Reksodipoetro, Moehammad Jamin, A. K. Gani, Tamzil, Soemanang, dan Amir Sjarifuddin. PPPI memprakarsai Kongres Pemuda II.

Kongres dilaksanakan dengan penuh hikmat oleh seluruh pemuda. Rapat  pertama, Sabtu 27 Oktober 1928 di Gedung Khatolieke Jongenlingen Bond (KJB), dalam rapat tersebut Soegondo menyerukan harapan untuk kongres ini dapat memperkuat semangat persatuan dalam sanubari para pemuda yang dilanjutkan oleh Moehammad Jamin tentang arti dan dan hubungan persatuan dengan pemuda. Rapat kedua, Minggu 28 Oktober 1928 di Gedung Oost-Java Bioskop yang membahas tentang pendidikan, kedua pembicara Poernomowoelan dan Sarmidi, sependapat anak harus mendapatkan pendidikan kebangsaan, harus adapula keseimbangan antara pendidikan disekolah dan dirumah. Setelah menyampaikan semua harapan dan aspirasinya kongres ditutup dengan mendengarkan lagu “Indonesia Raja”. Karya W. R. Supratman dan mengumumkan hasil kongres.

Melihat sejarah tersebut, pertanyaan yang masih membuat berkelana dalam lorong-lorong patriarki ialah tidak adakah kiprah perempuan (pemudi) hingga kongres pemuda II tanggal 28 Oktober 1928 sekaligus sebagai momentum peringatan sumpah pemuda?

Tidak dipungkiri kita hidup dalam dunia patriarki yang konsekuensinya ialah perempuan dianggap sebagai elemen terlemah ditengah-tengah masyarakat. Tidak terkecuali dalam forum-forum kebangsaan yakni Kongres Pemuda yang saat ini mencetak sejarah yang di kenal dengan sumpah pemuda. Sejarahnya dalam kongres tersebut ada beberapa perempuan yang turut hadir diantaranya dari 82 orang yang tercatat, cuma ada 6 perempuan yang berhasil diketahui. Mereka adalah Diem Pantow, Emma Poeradiredjo, Jo Tumbuan, Nona Tumbel, Poernamawoelan, dan Siti Soendari.
 Mardanas dalam memoar, 'Peranan Gedung Kramat Raya 106 dalam Melahirkan Sumpah Pemuda', menulis bahwa Siti Soendari berbicara dalam bahasa Belanda yang diterjemahkan oleh Muhammad Jamin. Dia menanamkan bahwa rasa cinta tanah air terutama pada wanita harus ditanamkan sejak kecil dan bukan untuk pria saja,".  

Sedangkan aktivis Jong Islamieten Bond Cabang Bandung, Emma Poeradirejo mengajak perempuan untuk terus ikut andil dalam pergerakan. Kemudian yang disebut dalam sejarah Poernamawoelan juga mendapatkan kesempatan berpidato dan menjelaskan tentang pendidikan terhadap perempuan dalam Kongres Pemuda II rapat kedua. 
Beberapa catatan sejarah menjelaskan laki-laki lebih mudah mengakses diruang publik dan membiarkan perempuan terkubur dalam domestifikasi. Ada banyak cerita ketidakadilan pada perempuan seperti pergaulan dan pendidikan, misalnya dalam tulisan R. A. Kartini yang dengan semangatnya mampu melawan sistem ganas pada masa itu. 

Namun, penggunaan Sumpah Pemuda yang sepertinya lebih mendominasi laki-laki tidak mendiskreditkan perempuan karena jika di tinjau secara etimologi pada kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), kata pemuda ialah orang yang masih muda; orang muda; taruna. Jadi secara kacamata analisis, pemuda merupakan keterwakilan kaum muda (perempuan dan laki-laki). Adapun pemuda diartikan sebagai kaum muda laki laki merupakan cara pandang penganut budaya patriarki.
Itulah alasan kenapa kata 'Pemudi' tidak ada di dalam Sumpah Pemuda.

Meski begitu, banyak perempuan yang ikut terlibat dalam perjuangan kemerdekaan Indonesia dan saat ini banyak juga perempuan yang berprestasi. Andai saja kongres pada masa itu terjadi di zaman sekarang, bisa jadi akan banyak perempuan yang terlibat dalam kegiatan tersebut. 

Sartina, biasa dipanggil Tintong mempunyai cita-cita utopis yang mendambakan kesetaraan.

Penulis : Sartina
( pemberdayaan Perempuan KMBPL)

*Tulisan tanggungjawab penuh Penulis*

Sebelumnya
Selanjutnya