Jumat, 29 Januari 2021

Dalam RUU Pemilu, DPR Jadwalkan Pilkada Akan Dinormalkan


JAKARTA, KNEWS – Komisi Pemerintahan Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) Pemilihan Umum (Pemilu). Dimana dalam RUU ini akan menggabungkan Undang-Undang Pemilihan Kepala Daerah dan UU Pemilu. 

Salah satu pasal yang menuai perbedaan pendapat adalah jadwal pilkada serentak. Sebagian partai menghendaki pilkada digelar pada 2024. Namun partai lainnya menginginkan pilkada serentak digelar pada 2022 dan 2023.

Hal itu disampaikan oleh Wakil Ketua Komisi Pemerintahan DPR-RI, Saan Mustopa mengatakan dalam RUU Pemilu, jadwal pilkada serentak diusulkan pada 2023 dan 2024. Politikus NasDem ini mengklaim usul tersebut disetujui sebagian besar fraksi di Dewan. Kecuali Fraksi PDI Perjuangan, yang memberikan catatan agar pilkada serentak digelar pada 2024. Lalu Fraksi Gerindra belum menyatakan sikap resmi.

"Dalam draf RUU Pemilu tersebut, DPR hendak menjadwalkan ulang penyelenggaraan pilkada serentak dan menormalkannya kembali dalam siklus pemilihan periode lima tahun. Kalaupun ada keinginan disatukan, itu di 2027. Tapi usulan ini belum final untuk disatukan,” ucap Saan dikutip dari koran.tempo.co, Jumat (29/01/21).

Saat ini, Komisi Pemerintahan DPR masih membahas RUU Pemilu. RUU ini rencananya menggabungkan UU Pilkada dan UU Pemilu. Dalam UU Pilkada, penyelenggaraan pilkada dilaksanakan serentak pada 2024, bersamaan dengan pemilihan Presiden dan Legislator. Adapun dalam UU Pemilu, pelaksanaan pilkada digelar pada 2022 dan 2023.

Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem), Khoirunnisa Agustyati mengatakan bahwa putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 55 Tahun 2019 membolehkan pengubahan desain keserentakan pemilu. 

"Alasannya adalah pengalaman Pemilu 2019 yang sangat rumit dan kompleks. Pemilu 2019, yang menggabungkan pemilihan presiden dan calon legislator, menyebabkan ratusan petugas penyelenggara pemilihan meninggal karena kelelahan," ungkapnya.

Selain itu, Khoirunnisa menjelaskan jika desain keserentakan pemilu tidak diubah dan pilkada serentak tetap digelar daerah pada 2024, wilayah yang terakhir melaksanakan pemilihan pada 2017 dan 2018 akan menghadirkan kompleksitas baru. 

“Meski tidak dilakukan di hari yang sama dengan pemilihan legislatif dan pilpres, tetap bakal ada tahapan yang berimpitan. Belum kalau pilpresnya dua putaran, akan lebih kompleks lagi,” katanya.

Menurut Khoirunnisa DPR perlu menormalkan jadwal pilkada serentak. Sebab, ketika jadwal pilkada serentak tetap bersamaan dengan pemilu nasional pada 2024, hal itu akan menyulitkan partai politik. 

“Partai akan menghadapi kompleksitas, harus menjaring calon kepala daerah dan rekrutmen untuk calon legislator,” ujarnya.

Khoirunnisa juga menyoroti Pasal 16 RUU Pemilu yang mengatur komposisi keanggotaan Komisi Pemilihan Umum. Pasal ini menyebutkan keanggotaan KPU harus memperhatikan keterwakilan partai politik secara proporsional berdasarkan hasil pemilu sebelumnya.

"Usul tersebut tidak akan dapat diberlakukan. Contohnya pada Pemilu 1999, ketika ada keterwakilan partai politik dalam penyelenggara pemilu. Saat itu, ada wakil dari partai politik yang kalah dalam pemilihan, lalu penyelenggara enggan menetapkan hasil pemilu. Presiden Bacharuddin Jusuf Habibie kala itu pun turun tangan menetapkan hasil pemilu tersebut," imbuhnya.

Disisi yang sama, Direktur Eksekutif Parameter Politik Indonesia, Adi Prayitno menguatkan pendapat Khoirunnisa. Ia mengatakan normalisasi pilkada merupakan jalan untuk menyelamatkan demokrasi prosedural dalam bentuk pemilihan langsung. Ia tak bisa membayangkan bagaimana ratusan pemerintahan daerah berjalan hanya dengan pelaksana tugas hasil penunjukan pemerintah pusat.

"Adanya perbedaan pandangan partai-partai dalam menyikapi jadwal pilkada sangat memungkinkan terjadi karena perbedaan kepentingan politik. Bagi partai yang menghendaki menormalkan pilkada serentak pada 2022 dan 2023, mereka kemungkinan besar hendak memoles calon presiden potensial yang akan diusung dalam Pemilu 2024," tuturnya. 

Lanjut, Dirinya menyampaikan bahwa jika pilkada serentak digelar pada 2024, sejumlah kepala daerah yang berpotensi berlaga dalam pilpres mendatang akan menjadi korban. Sebab, mereka akan kehilangan panggung politik ketika masa tugasnya sebagai kepala daerah berakhir pada 2022 dan 2023.

“Memang yang akan jadi korban, ya, kepala daerah potensial, seperti Anies Baswedan, Khofifah Indar Parawansa, dan Ridwan Kamil,” kata Adi.

"Hal itu tidak menjadi variabel penting dalam sistem pemilihan. Sebab, normalisasi pilkada lebih berkaitan dengan penguatan demokrasi dibanding kontestasi pemilihan," sambungnya.

Wakil Ketua Komisi Pemerintahan DPR, Luqman Hakim mengatakan revisi UU Pemilu memang berkaitan dengan pemilihan presiden pada 2024, tapi menyangkut juga sistem pemilihan. Sistem pemilihan yang ia maksudkan antara lain evaluasi angka ambang batas pencalonan presiden yang dianggap terlalu tinggi dan telah menyebabkan pembelahan masyarakat secara tajam dalam pilpres 2019.

Politikus Partai Kebangkitan Bangsa ini menganggap kondisi seperti itu perlu diperbaiki dengan menetapkan angka ambang batas yang lebih rendah. Misalnya, ambang batas pencalonan presiden diusulkan 10 persen dari perolehan kursi di parlemen, sehingga akan memunculkan banyak pasangan calon presiden pada 2024.

“Penting saya tegaskan, revisi UU Pemilu ini tidak ada urusannya dengan dukung-mendukung kandidat capres-cawapres. Namun untuk menciptakan sistem pemilu yang lebih baik, jauh dari praktik politik uang, dan mampu mencegah potensi konflik horizontal,” tutupnya.

(Haeril)

Sebelumnya
Selanjutnya